Ketika Gen Tak Lagi Sakral

Ketika Gen Tak Lagi Sakral

Di tengah gegap gempita kampanye vaksin global, banyak yang sibuk berbicara soal efikasi, angka kasus, antibodi, dan grafik data. Tapi ada satu hal yang luput dari pembicaraan, hal yang jauh lebih dalam daripada urusan medis: martabat manusia dan batas moral atas tubuhnya sendiri.

Vaksin mRNA memang disebut revolusioner. Teknologi ini membawa pesan genetik buatan untuk memicu produksi protein tertentu agar sistem imun belajar mengenali dan menetralisir. Tapi apa yang terjadi jika teknologi yang sama juga digunakan (atau bisa digunakan) dalam konteks lain yang lebih dalam: editing genetik di dalam tubuh manusia?

Sampai di sini, sebagian mungkin mulai merasa tidak nyaman. Karena bagi banyak orang, genetik adalah garis batas terakhir. Ia bukan sekadar urutan basa nitrogen, tapi kitab biologis yang diwariskan dari Sang Pencipta. Ia adalah kode warisan, identitas abadi, bahkan bagi sebagian orang: bagian dari amanah spiritual.

Dan yang membuat keresahan ini makin nyata adalah: teknologi mRNA ternyata satu rumpun dengan teknologi in vivo genome editing. Baik itu lipid nanoparticle (LNP) maupun adenovirus keduanya digunakan dalam berbagai eksperimen modifikasi genetik di organ-organ besar, termasuk hati, paru-paru, bahkan sistem reproduksi. Kini, pertanyaannya muncul secara naluriah dan tak bisa dihindari:

  • Apakah yang kita sebut “vaksin” ini hanya berfungsi sebagai pemicu antibodi, atau sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengedit bagian tubuh tertentu?
  • Apakah suntikan berulang selama dua tahun terakhir memang murni untuk proteksi, atau secara tidak sadar kita telah menjadi bagian dari eksperimen yang lebih besar?

Dan jika benar ada potensi penyisipan atau perubahan ekspresi genetik (meski tidak disengaja) maka persoalannya bukan lagi soal medis. Tapi sudah masuk ke wilayah iman, hak tubuh, dan keutuhan ciptaan. Tidak semua orang akan marah. Tapi sebagian yang memahami bahwa tubuh adalah amanah, bahwa DNA bukan mainan, dan bahwa manusia bukan objek percobaan, pasti akan bereaksi. Bukan karena anti-sains, tapi karena masih percaya bahwa ada hal-hal yang sakral dan tak bisa disentuh begitu saja, bahkan oleh sains itu sendiri.

Perbandingan Vaksin mRNA dan In Vivo Genome Editing

Elemen Vaksin mRNA In vivo genome editing
Vektor pengantar LNP / Adenovirus LNP / Adenovirus
Target organ Otot / Sirkulasi Liver, Jantung, Otak
Tujuan Produksi protein spike Editing gen spesifik
Frekuensi penyuntikan Berkali-kali Bisa berkali-kali

 

Referensi:

Fakta Terkait Vaksin mRNA dan In Vivo Genome Editing

  • AstraZeneca & J&J pakai adenoviral vector (replikasi-defective virus, biasanya non-integratif).
  • Moderna & Pfizer pakai LNP (Lipid Nanoparticle) buat nganterin mRNA ke dalam sel.
  • CRISPR-Cas9, base editing, dan lainnya memang butuh vektor buat masuk ke dalam tubuh — dan adenovirus + LNP adalah dua moda populer buat in vivo delivery.
  • Bahkan beberapa terapi gene editing yang sudah disetujui FDA pakai LNP (misalnya buat penyakit genetik hati seperti ATTR amyloidosis)

Dalam terapi gen, injeksi berulang digunakan untuk memastikan payload mencapai target organ secara efektif. Dalam vaksinasi berbasis vektor atau mRNA, injeksi berulang juga dilakukan. Bedanya? Yang satu disebut terapi, yang satu disebut pencegahan. Tapi pertanyaan muncul: jangan-jangan, tubuh kita tidak terlalu peduli pada label “terapi” atau “vaksin”? Ia hanya tahu satu hal: ada material asing yang masuk, lagi dan lagi… ke organ yang sama. Jadi:

  • Yang dipromosikan itu pemicu antibodi atau alat edit gen?
  • Apakah karena targetnya organ besar, maka perlu suntikan berulang?

Kita tahu, mRNA bekerja dengan menyisipkan kode agar tubuh memproduksi protein asing (spike protein). Lalu sistem imun merespons. Tapi… siapa yang mengontrol berapa lama tubuh kita memproduksinya? Apakah hanya di tempat suntikan, atau tersebar ke organ-organ lain seperti jantung, otak, testis, ovarium, dan ginjal? Studi-studi terkini sudah menunjukkan bahwa spike protein dan bahkan vektor atau delivery system-nya bisa ditemukan di banyak jaringan tubuh. Maka muncul pertanyaan lanjut: Jika ekspresi protein asing terjadi di organ vital, terus-menerus, dan tak terkendali apakah ini imunisasi, atau pemrograman ulang tubuh secara diam-diam? Apa dampaknya jika ada jaringan tubuh tertentu yang terus-menerus mengekspresikan protein asing ini? Apakah bisa memicu peradangan lokal atau bahkan sistemik dalam jangka panjang?

  • Sebuah studi tahun 2021 menemukan protein lonjakan setelah vaksinasi dapat tetap berada di dalam darah hingga 30 hari setelah vaksinasi. Oleh karena itu, protein lonjakan ini menimbulkan risiko bagi sel endotel yang melapisi pembuluh darah, dan juga menimbulkan risiko pembekuan darah karena kemampuan protein lonjakan untuk mengikat protein pembekuan darah.
  • Studi pada sel endotel pembuluh darah manusia menunjukkan bahwa paparan protein lonjakan menyebabkan sel inflamasi menempel pada sel endotel, yang mengindikasikan serangan kekebalan, dan yang juga dapat menyebabkan kerusakan sel atau bahkan kematian akibat peradangan.
  • Studi pada kultur sel saraf manusia juga menemukan bahwa protein lonjakan dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan disfungsi pembersihan protein neuron dan mengakibatkan neuron terbuang sia-sia.
  • Studi protein lonjakan pada miokarditis pasca vaksinasi menemukan antigen lonjakan bebas terdeteksi dalam darah remaja dan dewasa muda yang mengalami miokarditis pascavaksin mRNA, sehingga meningkatkan pemahaman tentang potensi penyebab yang mendasarinya.
  • Sebuah penelitian di China menemukan protein lonjakan dalam sampel pankreas otopsi dari orang yang meninggal akibat COVID-19.
  • Sebuah studi otopsi pada 21 pasien COVID mendeteksi 1 orang meninggal yang positif terkena protein SARS-CoV-2 di ginjalnya
  • Dalam sebuah penelitian terhadap lima pasien COVID yang pulih mulai dari sembilan hingga 180 hari setelah dites negatif terkena virus, penulis menemukan protein lonjakan dan protein nukleokapsid di dalam ileum (ujung usus halus), usus buntu, usus besar, dan wasir yang merupakan pembengkakan pembuluh darah di anus dan rektum bagian bawah
  • sebuah makalah tentang vaksin COVID-19 juga menemukan bahwa vaksin tersebut mendukung kelenjar adrenal untuk produksi protein lonjakan, dengan RNA protein lonjakan dan protein lonjakan yang ditemukan di jaringan adrenal.
  • Sebuah studi pracetak menemukan testis, tempat produksi sperma, merupakan reservoir untuk replikasi virus. Hal ini dapat menimbulkan risiko produksi sperma bagi individu tersebut.
  • Studi pada individu yang divaksinasi juga memiliki temuan serupa, yang semuanya menunjukkan bahwa protein lonjakan dengan sendirinya mungkin dapat mengganggu produksi sperma.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Scroll to Top