Nulis Buku Cuma Sehari? Yang Bener Aja Bro

Nulis Buku Cuma Sehari? Yang Bener Aja Bro

Buku itu apalagi yang jenisnya non fiksi selalu berisi saripati pengalaman penulisnya. Jika tidak begitu, opsi lainnya adalah berdasarkan pengalaman orang lain yang diwawancara. Berkali-kali saya baca buku isinya begitu. Lhah sekarang ini, banyak yang ngiklan nulis buku pakai teknik fomo “nulis buku cuma sehari” jadi. Buku yang dibuat dengan cara itu, bagaimana hasilnya?

Setelah saya selidiki, ternyata yang dimaksud bukanlah nulis buku, melainkan ngeprompt AI. Kalau begitu ceritanya, berarti bukan menulis buku tapi lebih tepat disebut menyusun tulisan hasil nge-prompt AI menjadi buku. Tulisan yang dihasilkan dengan cara seperti itu, tentu lebih banyak bicara masalah teori. Alhasil, sedikit sekali fakta atau pengalaman yang dialami penulis dituangkan dalam tulisan. Jika si pengeprompt kurang lihai, hasil dari jawaban AI seringkali lebih mirip panduan cara pengoperasian produk elektronik. Walau ebook merupakan salah satu produk digital yang banyak dicari, namun seyogyanya pembuatannya juga harus memperhatikan etika dasar penulisan.

Kemudahan yang melenakan

Memang benar, di era digital seperti sekarang ini telah melahirkan kemudahan akan akses informasi yang luar biasa. Banyak hal bisa dicari secara mandiri lewat kecerdasan buatan. Akan tetapi, dibalik semua kemudahan itu, tersimpan ancaman yang semakin nyata terhadap integritas karya tulis itu sendiri. Contoh nyata yang belakangan ini menjadi pembicaraan adalah maraknya ebook hasil AI yang dijual di Amazon. Bahkan, voc.com menyebutnya sebagai “garbage ebook”.

Sebuah buku yang dihasilkan dari AI tanpa sentuhan pengalaman ontentik dari penulis bisa dibilang hanyalah sekumpulan kalimat yang disusun secara algoritmis. Karya semacam itu tentu tidak memiliki “jiwa”, kedalaman emosi, dan jauh dari etika dan estetika. Seseorang yang terbiasa dengan karya tulis, mungkin saja masih bisa membedakan antara tulisan original dan non original. Sebaliknya, seseorang dan terutama masyarakat kita yang memang faktanya tidak suka membaca, tentu akan kesulitan membedakan antara tulisan manusia atau tulisan mesin.

Menulis buku itu merupakan proses kreatif. Di dalamnya ada kegiatan menyerap semua input yang ditangkap melalui panca indra dan rasa manusia. Selanjutnya, semua input tadi lantas diendapkan, diolah, dimaknai, dan selanjutnya diekspresikan menjadi gagasan baru yang dituangkan lewat tulisan. Jika proses ini tidak dilakukan, masih pantaskah kita disebut manusia? Di mana atau bagaimana cipta, rasa, dan karsa manusia itu didayagunakan?

Cerita saya mulai menulis

Sebelum saya menulis, saya “menghabiskan” banyak sekali buku. Mulai yang pokok bahasannya ringan sampai yang berat. Buku yang pokok bahasannya ringan, seringkali tak sampai sehari sudah khatam. Beda cerita dengan buku yang pokok bahasannya berat, satu bab saja bikin kepala cenut-cenut. Penulis ini sebenarnya ngomong apaan sih? Begitu suara yang keluar dari dalam hati.

Entah mulai dari kapan saya gemar mengoleksi buku. Tapi yang pasti, berangkat dari kegemaran itu, saya bisa memenuhi otak dengan berbagai macam pengalaman penulis. Berangkat dari hal itu pula, saya bisa mengetahui kecenderungan bacaan apa yang saya suka. Saya bisa menelaah diri saya sendiri, pun demikian tentang pribadi orang lain hanya dengan melihat jenis bacaan yang ia suka.

Tak bisa dipungkiri, semakin jatah umur berkurang semakin banyak pengalaman yang didapat. Buku yang sebelumnya terasa “berat” baru saya ketahui maksudnya, ide gagasannya, atau bahkan gaya protesnya di kemudian hari. Ya, terkadang ketidaksetujuan seseorang terhadap sebuah gagasan bisa dituangkan pula dalam buku tandingan. Mulai dari sinilah dorongan menulis itu muncul. Melihat antar penulis yang saling beradu argumen lewat buku, saya pun mulai gatal juga untuk menanggapi topik yang sedang dibicarakan.

Mas Dot

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Scroll to Top