Hidup Senang, Mati Elegan
Sudah banyak buku yang membahas perihal “tarikan kebumian” (baca: harta, tahta, dan wanita), begitupun yang membahas perihal “tarikan kelangitan” (baca: agama dan spiritualitas). Akan tetapi, masih banyak dari kita yang bingung dan tak mengerti benang merah antara kedua tema ini. Pasalnya, “tarikan kebumian” yang disimbolkan dengan harta-tahta-wanita itu selalu diidentikkan dengan nafsu yang dalam pokok bahasan “kelangitan” menjadi hal yang harus dijahui. Hal yang demikian itu seolah menjadi kontradiksi dan seolah-olah telah memaksa kita untuk memilih salah satu diantaranya.
Padahal keduanya nyata-nyata ada di setiap diri dan sama-sama menuntut pemenuhan.
Untuk menjamin keinginan manusia yang begitu banyak dan beraneka rupa itu, Tuhan pun beretorika dimana dalam sebuah ayat Dia berfirman: “hai manusia, berdoalah padaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. Ayat ini seolah-olah memberikan kebebasan mutlak kepada manusia bahwa segala keinginan manusia sudah pasti dan musti terwujud. Namun nyatanya, tidak demikianlah yang terjadi. Sedang di lain ayat Tuhan juga berfirman: “tolonglah agama Allah” seolah-olah Allah itu seperti manusia yang butuh agama dan sangat lemah sekali hingga perlu untuk ditolong mahlukNya sendiri.
Sesungguhnya, pencapaian ketiga simbol kemuliaan itu saling kait mengait antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian, pencapaian itu tidak akan berbuah menjadi makna yang indah jika saja ia melepaskan esensi mendalam yang melibatkan jiwa manusia, tujuan hidup manusia di universitas jagad raya ini, alias pemahaman akan tarikan “kelangitan”. Alhasil, kita harus mampu menyadari terlebih dahulu keberadaan kita di universitas jagad raya ini sebenarnya untuk (mencari-memberi) apa?
Jika saja kita tak bisa menjawab pertanyaan itu, alih-alih menjadi kaya, bahagia, dan sukses justru pengejaran terhadap tiga simbol kemuliaan itu hanya akan mengantarkan kita ke dalam jurang ketakbermaknaan hidup. Hidup terasa kering dan hampa. Hidup hanya berputar-putar saja, kadang senang kadang sedih. Tak peduli yang banyak harta atau yang miskin papa, keduanya memiliki rasa yang sama, senang-sedih. Atau ibarat roda pedati, kadang di atas kadang di bawah. Bukankah lewat pergantian episode senang-sedih itu harusnya mengantarkan kita ke “poros” roda?
Spirit Sang Elang bercerita tentang perjalanan penulis dalam memaknai “tarikan kebumian” dan “tarikan kelangitan” yang seakan-akan bertolak belakang. Di satu sisi manusia disibukkan oleh urusan jasad dan di sisi lain ada pula yang menganggap urusan jasad tidak lebih penting dari urusan “langit”, padahal keduanya nyata ada di setiap diri dan masing-masing butuh pemenuhan.
Mungkin penyebab utama yang selama ini tak dimengerti yaitu bahwa setiap orang itu memiliki jalannya sendiri-sendiri. Namun, jalan itu selamanya tak akan dikenali jika saja manusia tidak dapat mengenali jiwanya/nafsnya sendiri.
mahirdigital.org